PUJIAMAN ZULFIKAR & REKAN | Advokat dan Kosultan Hukum

Ads

PENGERTIAN ZAKAT DAN BAITUL MAL (Makalah)


KATA PENGANTAR



Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, segala puji dan syukur bagi Allah S.W.T. kerena dengan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat diselesaikan sebuah makalah dengan judul “PENGERTIAN ZAKAT DAN BAITUL MAL”. Sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Hukum Perwakafan dan Baitul Mal. Kemudian Selawat beriring salam tak lupa disanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan kerendahan hati mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada M. Thaeb Zakaria, S.H., M.H. selaku dosen yang mengajar mata kuliah Hukum Perwakafan dan Baitul Mal yang telah mengarahkan kami dalam menggali ilmu tentang perwakafan dan baitul mal.

Dala hal ini juga, kami menyadari bahwa makalah yang telah kami siapkan ini jauh dari kesempurnaan. Maka oleh sebab itu kami minta dukungan, saran dan kritik membangun untuk perbaikan kedepan. Terima Kasih.

Banda Aceh, 9 Juni 2014


Penulis,



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI 

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
D. Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN 

A. Zakat
  1. Pengertian Zakat 
  2. Sejarah Pensyariatan Zakat 
  3. Hukum dan Dalil Zakat 
  4. Hikmah dan Fungsi Zakat 

B. Baitul Mal
  1. Pengertian Baitul Mal 
  2. Sejarah Tentang Baitul Mal
  3. Manajemen Baitul Mal dalam Sejarah

BAB III PENUTUP 
A. Kesimpulan
B. Saran


DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Islam adalah sebuah sistim yang sempurna dan komprehensif. Dengan Islam, Allah memuliakan manusia, agar dapat hidup dengan nyaman dan sejahtera di muka bumi ini. Allah menyempurnakan kenyamanan kehidupan manusia, pada awalnya dengan memberi petunjuk kepadanya tentang identitas dirinya yang sesungguhnya. Allah mengajarkan kepadanya bahwa ia adalah seorang hamba yang dimiliki oleh Tuhan yang maha Esa dan bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan. Selanjutnya Allah memberikan sarana-sarana untuk menuju kehidupan yang mulia dan memungkinkan dirinya melakukan ibadah. Namun demikian, sarana-sarana tersebut tidak akan dapat diperoleh kecuali dengan jalan saling tolong menolong antar sesama atas dasar saling menghormati, dan menjaga hak dan kewajiban sesama.

Diantara sarana-sarana menuju kebahagian hidup manusia yang diciptakan Allah melalui agama Islam adalah disyariatkannya Zakat. Zakat disyariatkan dalam rangka meluruskan perjalanan manusia agar selaras dengan syarat-syarat menuju kesejahteraan manusia secara pribadi dan kesejahteraan manusia dalam hubungannya dengan orang lain. 

Selanjutnya di dalam islam juga mempunyai suatu badan yang mengelola harta benda yang dikumpulkan baik dari wakaf, zakat, infaq dan juga shadaqah. Tujuan pengelolaan ini ialah untuk mengstabilkan kehidupan ekonomi masyarakat islam serta untuk kegiatan social islam lainnya.


B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Zakat?
2. Apa yang dimaksud dengan Baitul Mal?
3. Bagaiamana sejarahnya?


C. TUJUAN


1. Untuk mengetahui definisi Zakat
2. Untuk mengetahui tentang sejarah pensyariatan Zakat?
3. Untuk mengetahui definisi Baitul Mal?
4. Untuk mengetahui tentang sejarah Baitul Mal?


D. SISTEMATIKA PENULISAN


Dalam penulisan makalah ini ditulis dengan sistematika yang dibagi dalam 4 (empat) bab, masing-masing terdiri atas beberapa bagian, sebagai berikut:

1. Bab I Pendahuluan, berisi uraian latar belakang dari judul makalah. 
2. Bab II Berisi tentang Pembahasan Pengertian Zakat dan Baitul Mal 
3. Bab III Penutup, pada bagian penutup ini memuat berupa rangkuman 
pembahasan dan juga saran serta daftar pustaka.


BAB II

PEMBAHASAN

A. ZAKAT


1. Pengertian Zakat


Secara etimologi, kata zakat berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata “az-zakâh, yang merupakan masdar dari fi’il madli “zakâ”, yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang. 

Selain itu, zakat juga mengandung arti ath-thaharah ( kesucian ) seperti firman dalam Alqur’an surat As-Syams ayat 9 :
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا

Artinya: “Sungguh beruntung orang yang mensucikan hati”. (QS. As-Syams: 9)


Secara istilah fiqhiyah, zakat ialah sebuah ungkapan untuk seukuran yang telah ditentukan dari sebagian harta yang wajib dikeluarkan dan diberikan kepada golongan-golongan tertentu, ketika telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Harta ini disebut zakat karena sisa harta yang telah dikeluarkan dapat berkembang lantaran barakah doa orang-orang yang menerimanya. Juga karena harta yang dikeluarkan adalah kotoran yang akan membersihkan harta seluruhnya dari syubhat dan mensucikannya dari hak-hak orang lain di dalamnya.

Selain nama zakat, berlaku pula nama shadaqah. Shadaqah mempunyai dua makna. Pertama ialah harta yang dikeluarkan dalam upaya mendapatkan ridho Allah. Makna ini mencakup shadaqah wajib dan shadaqah sunnah (tathawwu’). Kedua adalah sinonim dari zakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 60:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ    (التوبة : 60) وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ

Artinya: “Sesungguhnya shadaqah-shadaqah itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah: 60)

Makna As-Shadaqat dalam ayat tersebut adalah shadaqah yang wajib (zakat), bukan shadaqah tathawwu’. Selanjutnya makna shadaqah disesuaikan dengan konteks pembicaraan dan pembahasannya. Jika konteknya adalah zakat, maka shadaqah berarti zakat dan begitu pula sebaliknya.


2. Sejarah Tentang Pensyariatan Zakat


Pada dasarnya kewajiban zakat bukan khususiah ummat Islam. Zakat telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu. Dalam Islam, pensyariatan zakat dilakukan dalam beberapa fase. Pada periode Mekah, sebenarnya telah turun ayat-ayat tentang perintah zakat, diantaranya adalah firman Allah dala Alqur’an surat Al-Ma’arij : 24-25 :

وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ ، لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
(المعارج: 24-25)
Artinya: “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”. (QS. Al-Ma’arij: 24-25)

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan bahwa mengenai awal turunya perintah zakat terdapat perselisihan pendapat dikalangan ulama. Ibnu Huzaimah dalam shahihnya mengatakan bahwa kewajiban zakat turun sebelum hijrah. Menurut pendapat yang shahih, dan menjadi pendapat mayoritas ulama, pensyariatan zakat terjadi pada tahun ke-8 setelah Rasulullah SAW melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah, sebelum diturunkannya kewajiban puasa ramadhan.


3. Hukum Dan Dalil Zakat


Zakat adalah salah satu rukun Islam. Ia adalah wajib berdasarkan dalil-dalil qath’i dan merupakan perkara ma’lum fiddin bid dharurah, sehingga keraguan dan keingkaran akan kewajiban zakat menyebabkan kekufuran. Dalil terpenting kewajiban zakat adalah:
أَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ
(البقرة: 43)
Artinya: “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. (QS. Al-Baqarah: 43)

Perintah semacam ini, diulang hingga pada 32 tempat dalam al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan zakat sangat penting dalam syariat Islam.

Dalam hadits yang disepakati keshahihannya (al-muttafaq alaih) disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Mu’adz ketika ia diutus ke Yaman: “Jika mereka taat, maka kabarkanlah bahwa Allah mewajibkan mereka shadaqah yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang faqir mereka”.

Disamping ayat al-Quran dan hadits, kewajiban zakat juga disokong dengan konsensum ulama (ijma’). Ulama Islam dalam setiap masa hingga saat ini sepakat akan kewajiban zakat ini. Para sahabatpun sepakat bahwa orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat boleh diperangi. 

4. Hikmah Dan Fungsi Zakat

Hikmah dan fungsi zakat sangat banyak dan tidak dapat dimuat secara keseluruhan dalam lembar-lembar makalah ini. Yang jelas, secara global hikmah dan fungsinya kembali kepada kebaikan pemberi dan penerima zakat, yang pada tahap selanjutnya, memberikan kebaikan dan kesejahteraan sosial secara menyeluruh. Berikut adalah sebagian hikmah dan fungsi zakat:
  1. Zakat dapat membiasakan muzakki (pemberi zakat) untuk bersifat dermawan, dan melepaskan dirinyadari sifat-sifat bakhil, apalagi jika ia mampu merasakan manfaatnya, serta menyadari bahwa zakat mampu mengembangkan harta yang dimiliki.
  2. Zakat dapat memperkuat jalinan ukhuwah dan mahabbah antara diri muzakki dan orang lain. Jika kepopuleran zakat dapat tergambarkan, hingga setiap muslim sadar diri untuk menunaikannya, maka tergambarkan pula nuansa kasih sayang, kuatnya persatuan, dan teguhnya persaudaraan. 
  3. Zakat mampu memperkecil jarak kesenjangan sosial, menghilangkan kecemburuan sosial dan meredam tingkat kejahatan.
  4. Zakat mampu mengentaskan kemiskinan yang pada akhirnya memperkecil angka pengangguran dan membangkitkan geliat perekonomian.
  5. Zakat adalah sarana yang paling manjur dalam mensucikan hati dari sifat-sfat dengki, hasud dan dendam, dimana ketiga sifat ini adalah penyakit utama masyarakat yang paling mematikan.
  6. Zakat menghilangkan sifat cinta dunia, yang merupakan sumber segala kesalahan
  7. Zakat adalah pelebur dosa dan penyembuh berbagai macam penyakit.
Dari defenisi, sejarah, hukum dan hikmah dan fungsinya, jelas zakat meyakinkan sebuah janji, akan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, terpupuknya rasa persatuan, dan wujudnya kesejahteraan dan keberuntungan di dunia dan akhirat. Sungguh Allah maha kuasa, maha sempurna dan maha mengetahui atas keadaan hambaNya. Alangkah meruginya mereka yang tidak mau menyadari dan tidak mau melihat keajaiban zakat ini.


B. BAITUL MAL



1. Pengertian Baitul Mal


Baitul Mal berasal dari bahasa Arab "bait" yang berarti rumah, dan "al-mal" yang berarti harta. Jadi secara etimologis (ma’na lughawi) Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta.

Adapun secara terminologis (ma’na ishtilahi), sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam kitabnya Al Amwaal Fi Daulah Al Khilafah, Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak (al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Baitul Mal dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat (al-makan) untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan Negara.

2. Sejarah Tentang Baitu Mal

a. Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)

Baitul Mal dalam makna istilah sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar (Zallum, 1983). Saat itu para shahabat berselisih paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT yang artinya menjelaskan hal tersebut:

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah,’Harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.” (QS Al Anfaal : 1)

Dengan ayat ini, Allah menjelaskan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan wewenang kepada Rasulullah SAW untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, ghanimah Perang Badar ini menjadi hak bagi Baitul Mal, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul Amri kaum muslimin, yang pada saat itu adalah Rasulullah SAW sendiri, sesuai dengan pendapatnya untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin.

Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi‑bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda‑nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.

Seorang shahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi yang menjadi penulis (katib) Rasulullah SAW, menyatakan, ‘Rasulullah SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya… Tidaklah datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah SAW selalu mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah SAW tidak suka melalui suatu malam sementara ada harta (umat) di sisi beliau.”

Pada umumnya Rasulullah SAW membagi-bagikan harta pada hari diperolehnya harta itu. Hasan bin Muhammad menyatakan, ‘Rasulullah SAW tidak pernah menyimpan harta baik siang maupun malamnya…’

Dengan kata lain, bila harta itu datang pagi-pagi, akan segera dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga jika harta itu datang siang hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba. Oleh karena itu, saat itu belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya.

b. Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Keadaan seperti di atas terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, keadaan Baitul Mal masih berlangsung seperti itu di tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Hal ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al Jarrah saat Abu Bakar dibai’at sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata kepadanya, ‘Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat.’

Kemudian pada tahun kedua kekhi­lafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya, berupa karung atau kantung (ghirarah), untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.

Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya. 

Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. 

Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.

Menjelang ajalnya tiba, karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul Mal, Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang pernah diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8000 dirham. Ketika keluarga Abu Bakar mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah orang-orang yang datang setelahnya.” Artinya, sikap Abu Bakar yang mengembalikan uang tersebut merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan dilaksanakan oleh para Khalifah generasi sesudahnya.

c. Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Mal. Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya.

Akan tetapi setelah penaklukan‑penaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh karena itu, Umar lalu membangu­n sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang. Kadang‑kadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid dan segera membagi‑bagikannya. Mengenai mulai banyaknya harta umat ini, Ibnu Abbas pernah mengisahkan :

‘Umar pernah memanggilku, ternyata di hadapannya ada setumpuk emas terhampar di hadapannya. Umar lalu berkata : ‘Kemarilah kalian, aku akan membagikan ini kepada kaum muslimin. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui mengapa emas ini ditahan-Nya dari Nabi-Nya dan Abu Bakar, lalu diberikannya kepadaku. Allah pula yang lebih mengetahui apakah dengan emas ini Allah menghendaki kebaikan atau keburukan’

Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.”

d. Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. 

Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.”

e. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.

Ketika berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”
f.       Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.

Keadaan di atas berlangsung sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. 

Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Mal. Harta tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta itu terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi SAW wafat dijadikan rnilik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya.

Akan tetapi, kondisi Baitul Mal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit kritik yang datang dan ulama, namun semuanya diabaikan, atau ulama itu sendiri yang diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi, mengecam tindakan Abu Ja’far Al Mansur (khalifah ke-2 Bani Abbasiyah, memerintah 754-775 M), yang dipandangnya berbuat zalim dalam pemerintahannya dan berlaku curang dalam pengelolaan Baitul Mal dengan memberikan hadiah kepada banyak orang yang dekat dengannya.

lmam Abu Hanifah menolak bingkisan dan Khalitah Al Mansur. Tentang sikapnya itu Imam Abu Hanifah menjelaskan, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia memberiku dari Baitul Mal, milik kaum muslimin, sedangkan aku tidak memiliki hak darinya. 0leh sebab itu, aku menolaknya. Sekiranya Ia memberiku dari hartanya sendiri, niscaya aku akan menerimanya.”

Namun bagaimana pun, terlepas dari berbagai penyimpangan yang terjadi, Baitul Mal harus diakui telah tampil dalam panggung sejarah Islam sebagai lembaga negara yang banyak berjasa bagi perkembangan peradaban Islam dan penciptaan kesejahteraan bagi kaum muslimin. Keberadaannya telah menghiasi lembaran sejarah Islam dan terus berlangsung hingga runtuhnya Khilafah yang terakhir, yaitu Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924.

3. Manajemen Baitul Mal dalam Sejarah


Dalam sejarah Baitul Mal, khususnya yang berkenaan dengan tata organisasi dan administrasinya, dikenal istilah Diwan. Diwan adalah tempat di mana para penulis/sekretaris Baitul Mal berada dan tempat untuk menyimpan arsip-arsip. Istilah Diwan kadang juga dipakai dalam arti arsip-arsip itu sendiri, karena memang terdapat saling keterkaitan antara kedua makna bagi kata Diwan ini. Ringkasnya, Diwan dapat berarti kantor Baitul Mal, atau arsip Baitul Mal


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Kewajiban zakat adalah keajaiban Islam. Uraian-uraian di atas adalah diantara bukti-bukti akan hal itu. Tidak ada satu pun syariat Islam yang tidak memberikan kesejahteraan kepada umat, tidak terkecuali zakat, disamping ia sebagai modal dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan mendapatkan ridhoNya, yang selanjutnya mendapatkan rahmatNya di Surga. 

Dari defenisi, sejarah, hukum dan hikmah dan fungsinya, jelas zakat meyakinkan sebuah janji, akan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, terpupuknya rasa persatuan, dan wujudnya kesejahteraan dan keberuntungan di dunia dan akhirat. Sungguh Allah maha kuasa, maha sempurna dan maha mengetahui atas keadaan hambaNya. Alangkah meruginya mereka yang tidak mau menyadari dan tidak mau melihat keajaiban zakat ini.

Selanjutnya mengenai Baitul Mal mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran.

Maka dari uraian singkat diatas Baitul Mal adalah tempat khusus untuk menyimpan harta, karena harta yang diperoleh itu kaum muslimin dikelola dan bagikan kembali kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka serta urusan Negara.



DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
  • Al-Khin, Musthafa, dkk, “Al-Fiqh al-Manhaji ala madzhab al-Imam Asy-Syafi’i”,Dar al-Qalam, Jakarta, 1992
  • Dahlan, Abdul Aziz. et.al, Ensiklopedi Hukum Islam. Cetakan II, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta 1999.
  • Hakim, Cecep Maskanul, Konsep Pengembangan Baitul Mal. Paper Seminar Ekonomi Islam ICMI, Bandung, 1995.

B. Internet


Sebelumnya
« Prev Post
Berikutnya
Next Post »

2 komentar

Write komentar
Ads
H