Islam mengajarkan bagaimana umat mewujudkan masyarakat sejahtera yang berkeadilan sosial. Di dalam Al-Qur’an diatur cara menafkahkan harta yang dimiliki umat Islam demi kesejahteraan umum, antara lain melalui zakat, infaq, shadaqah, qurban, hibah dan wakaf. Potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis perlu digali dan dikembangkan.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum.
Salah satu benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan adalah tanah yang merupakan sumber segala macam kekayaan materi, karena dari tanah dapat diperoleh berbagai manfaat. Tanah harus dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang merupakan amanat Undang-undang Dasar RI Tahun 1945 sebagaimana dipertegas dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Wakaf adalah perbuatan hukum wakif (yang mewakafkan) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda wakaf miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Atas dasar tersebut, maka penerapan hukum wakaf terhadap tanah wakaf harus dijalankan sesuai dengan aturan perundang-perundangan yang berlaku, agar fungsi wakaf benar-benar memberi mamfaat untuk kesejahteraan umum sehingga tanpa ada kendala dalam penerapannya.
A. Sejarah Hukum Wakaf
Sejak dan setelah datangnya Islam, sebagian besar masyarakat Indonesia melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut, yaitu faham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Sebelum adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan kebisaaan-kebisaaan keagamaan, seperti kebisaaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal sholeh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Allah tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat.
Kajian wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara itu. Di Indonesia, perwakafan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sejak tahun 1905. Sebelum Lahirnya Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 Hukum dan Perundang-undangan perwakafan di indonesia sampai saat ini belum meliputi seluruh bentuk perwakafan. Selama ini, baru terdapat peraturan pemerintah tentang perwakafan tanah milik yang merupakan kelanjutan dari Undang-undang Pokok Agraria, Khususnya pasal 49 (1).
Lahirnya Undang-undang pokok Agraria di zaman kemerdekaan, yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 yang merupakan unifikasi hukum tanah di seluruh indonesia (Daerah istimewa yogyakarta baru melaksanakannya tahun 1984) memperkokoh dasar hukum perwakafan, khususnya perwakafan tanah milik. Pasal 14 (1) huruf b, undang-undang tersebut menyatakan:
Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan perbiadatan dan keperluan keperluan lainnya, sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
UUPA pasal 49 menyangkut hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial yang berbunyi:
Hak milik tanah badan-badan keuangan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diikuti dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagaimana di maksud pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai.
Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.
B. Pengertian Wakaf dan Tanah Wakaf
a. Pengertian Wakaf
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syara’, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’ala, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat
Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
b. Tanah Wakaf
Tanah wakaf adalah suatu hak atas tanah yang diperoleh dari seseorang atau badan hukum (wakif) yang diperuntukkan/digunakan untuk peribadatan atau kepentingan umum (masyarakat banyak), bukan untuk kepentingan pribadi, sesuai dengan peruntukkannya atau tujuan wakaf. Sedangkan tanah yang dapat di wakafkan, adalah tanah yang berstatus tanah milik, karena ia mempunyai sifat terkuat dan terpenuh bagi si empunya tanah. Oleh karena itu apabila tanah tersebut diwakafkan, maka tidak menimbulkan akibat yang dapat menggangu sifat kekekalan dan keabadian kelembagaan tanah wakaf itu sendiri.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 28 tahun 1977 :
Bahwa pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan pemanfaatan atas penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Akan tetapi ada beberapa kemungkinan untuk mengadakan penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yaitu : karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf seperti yang telah diikrarkan wakif dan karena adanya kepentingan umum.
C. Landasan Penerapan Hukum Wakaf
- Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
- Peraturan Menteri dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik
- Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelasanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
- Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/P/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik
D. Tata Cara Perwakafan Tanah Milik
Calon wakif dari pihak yang hendak mewakafkan tanah miliknya harus datang dihadapan Pejabat Pembantu Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf.
Untuk mewakafkan tanah miliknya, calon wakif harus mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas kepada nadir yang telah disyahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf. Pengikraran tersebut harus dihadiri saksi-saksi dan menuangkannya dalam bentuk tertulis atau surat.
Calon wakif yang tidak dapat datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya yang mewilayahi tanah wakaf. Ikrar ini dibacakan kepada nadir dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi.
Tanah yang diwakafkan baik sebagian atau seluruhnya harus merupakan tanah milik. Tanah yang diwakafkan harus bebas dari bahan ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa.
Saksi ikrar wakaf sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, dan sehat akalnya. Segera setelah ikrar wakaf, PPAIW membuat Ata Ikrar Wakaf Tanah
E. Surat yang Harus Dibawa oleh Wakif
Calon wakif harus membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW surat-surat berikut.
- Sertifikat hak milik atau sertifikat sementara pemilikan tanah
- Surat Keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh camat setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu perkara dan dapat diwakafkan.
- Izin dari Bupati atau Walikota c.q. Kepala Subdit Agraria Setempat.
F. Hak dan Kewajiban Nadir
Nadir adalah kelompok atau bandan hukum Indonesia yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf
a. Hak Nadir
Nadir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang biasanya ditentukan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya. Dengan ketentuan tidak melebihi dari 10 % dari hasil bersih tanah wakaf.
Nadir dalam menunaikan tugasnya dapat menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya.
b. Kewajiban Nadir
Kewajiban nadir adalah mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, antara lain:
- Menyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf
- Memelihara dan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasilnya
- Menggunakan hasil wakaf sesuai dengan ikrar wakafnya.
G. Mengganti Barang Wakaf
Prinsip-prinsip wakaf diatas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Barang yang diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya akan jadi lain jika barang wakaf itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual. Artinya, hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang yang sudah rusak tadi tetap dapat dimanfaatkan dan tujuan wakaf semula tetap dapat diteruskan, yaitu memanfaatkan barang yang diwakafkan tadi.
Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke tempat lain menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan. Maka mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan menurut inti dan tujuan hukumnya.
H. Pengaturan Wakaf
Tujuan wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor pendukungnya ada dan berjalan. Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf. Wakaf yang diserahkan kepada badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan. Karena mekanisme kerja, susunan personalia, dan program kerja telah disiapkan secara matang oleh yayasan penanggung jawabnya.
Pengaturan wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara masing-masing orang yang mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu demi kemaslahatan umum. Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau denagn akta notaris adalah cara yang terbaik pengaturan wakaf. Dengan cara demikian, kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan dari tujuan wakaf semula mudah dikontrol dan diselesaikan. Apalagi jika wakaf itu diterima dan dikelola oleh yayasan-yayasan yang telah bonafide dan profesional, kemungkinan penyelewengan akan lebih kecil.
Kesimpulan
a. Setelah datangnya islam atau sebelum adanya aturan perundang-undangan tentang wakaf, sebagian
besar masyarakat Indonesia melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut. yaitu faham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat.
b. Wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya untuk diambil mamfaat untuk kebaikan dan
kemajuan islam.
c. Tanah wakaf adalah suatu hak atas tanah yang diperoleh dari seseorang atau badan hukum (wakif) yang diperuntukkan/digunakan untuk peribadatan atau kepentingan umum (masyarakat banyak), bukan untuk kepentingan pribadi, sesuai dengan peruntukkannya atau tujuan wakaf.
d. Landasan Penerapan Hukum Wakaf
- Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
- Peraturan Menteri dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik
- Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelasanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
- Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/P/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik e. Wakif (pewakaf) harus membawa surat dan diserahkan kepada PPAIW sebelum pelaksananaan ikrar wakaf
f. Hak Nadir adalah kelompok atau badan hukum Indonesia yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf
g. Kewajiban nadir adalah mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya.
h. Prinsip wakaf adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan.
i. Dalam keadaan tertentu, barang wakaf boleh digantikan. apabila barangnya sudah rusak.
Saran
a. Disarankan kepada nazir dan wakif agar dalam melakukan wakaf sesuatu barang dengan disertakan syarat administrasi. Agar barang atau benda yang diwakafkan aman dan sesuai dengan amanah yang diikralkan oleh wakif tanpa ada gugutan dikemudian hari oleh pihak-pihak lain.
b. Dalam mewakafkan barang atau benda, tidak cukup hanya dengan aturan agama, akan tetapi sebaiknya harus dijalankan sesuai dengan aturan perundang-undangan agar kepastian hukum terhadap barang atau benda yang diwakafkan aman dan dilindungi oleh aturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
- Abdul Ghofur Anshori, Hukum Dan Praktek Perwakafan Di Indonesia, Pilar Media Yogyakarta 2006.
- Hamid, Zahri, Harta Dan Milik Dalam Islam, CV. Bina Usaha, Yogyakarta 1985.
B. Undang-undang
- Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
- Peraturan Menteri dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik
- Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelasanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
- Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/P/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik.
C. Internet
- http://badanwakafsirojulmunir.wordpress.com,“Ketentuan-ketentuan wakaf”, diakses pada tanggal 10 April 2014, Pukul 00.28 WIB.
- http://badanwakafsirojulmunir.org, “Keajaiban Shodaqoh”, diakses 10 April 2014, Pukul 00.28 WIB.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon